Senin, 29 April 2013

KEBIJAKAN FISKAL


Kebijaksanaan  fiskal adalah kebijaksanaan yang kedua dibidang pengendalian makro adalah. Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro perekonomiannya. Keduanya  sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini mungkin lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.
Pembahasan ini diawali  mengenai hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN tertentu, ter hadap perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar sederhana.
APBN DAN KEBIJAKSANAAN FISKAL
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
(a) Bagaimana suatu kebijaksanaan uiskal diterjemahkan men jadi suatu APBN dan
(b) Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.
Dalam bagian mi kita akan mengaji tahap (a). Khususnya kita akan membahas makna dan suatu kebijaksanaan fiskal dilihat dari struktur pos-pos APBN.
APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaknaannya. Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaknakan pemerintah dalam programnya. Untuk tujuan pembahasan
Dibagian lain terdiri dan pos utama, yaitu:
  1. Pengeluaran pernerintah untuk pembelian barang/jasa,
  2. pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya,
  3. pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk memperoleh dana tersebut, yaitu:
(a) pajak (berbagai macam),
(b) pinjaman dan bank sentral,
(c) pinjaman dan masyarakat dalam negeri,
(d) pinjaman dan luar negeri.
Dahulu pajak adalah satu-satunya sumber untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Tidak ada pajak tidak ada kegiatan pemerintahan. Sekarang, pajak masih merupakan sumber keuangan negara yang paling penting bagi semua negara di dunia. Namun bagi pemerintah di negara-negara modern ada bebeapa cara lain untuk memperoleh dana tambahan. Yang pertama, pemerintah bisa “meminjam” dana dan bank sentralnya, seperti halnva seseorang mengambil kredit dart bank. Tetapi ada satu perbedaan penting antara kredit bank sentral kepada pemerintah dengan kredit bank kepada seseorang atau perusahaan. Perbedaan ini adalah bahwa bank sentral hanya bisa memberikan kredit dengan jalan menciptakan uang inti (reserve money). Bank sentral tidak bisa menciptakan uang giral seperti bank-bank umum biasa, sebab “uang giral” bank sentral.
Dan penambahan uang inti (L berarti (lewat money multiplier) penambahan jumlah uang beredar (L OIeh sebab itu dalam ungkapan yang lebih populer, pemberian kredit bank sentral kepada pemerintah adalah identik dengan pencetakan uang baru. (Yang lebih tepat sebenarnya adalah penciptaan uang inti baru).
Cara lain untuk memperoleh dana adalah meminjam dan masyarakat dalam negeni. Caranya adalah dengan mengeluarkan obligasi dan menjualnya di pasar uang dalam negeri*). Bila masyarakat (termasuk bank-bank) membeli surat berharga ini maka pemerintah memperoleh dana yang semula ada di tangan masyarakat (dan sebagai gantinya, masyarakat memegang obligasi pemerintah). Cara ini disebut open market operations (operasi pasar terbuka). Biasanya bank sentral bertindak sebagai “agen” pemerintah dalam melakukan open market operations. Cara ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang sudah memiliki pasar surat berharga (bursa efek dan saham) yang sudah maju. Bagi negara-negara sedang berkem bang pasar semacam itu belum berkembang, sehingga kebijaksanaan open market operations hanya mempunyai kegunaan yang terbatas. Bagi negara-negara maju, open market operations adalah suatu cara pembelanjaan keuangan negara yang sangat penting.
Cara yang terakhir untuk memperoleh dana adalah dengan meminjam dan luar negeri. Yang dilakukan di sini adalah “mengambangkan” obligasi pemerintah di pasar uang luar negeri (misalnya, pemerintah Indonesia telah menjual obligasinya di pasar uang Hamburg dan Tokyo). Dalam hal mi pemerintah Indonesia menerima dana (dalam bentuk matauang asing atau “devisa”) dan si pembeli di luar negeri menerirna surat tanda berhutang (“obligasi”) pemenintah Indonesia (beserta janji kapan membayar kembali dan dengan bunga beberapa). Cara mi lebih cocok apabila pemerintah membutuhkan dana dalam bentuk devisa (misalnya, untuk membiayai kebutuhan impornya).
Cara di atas adalah untuk memperoleh “kredit komersial” dan luar negeri, yaitu pinjaman dengan bunga seperti yang berlaku di pasar pada saat itu. Bagi beberapa negara, kredit komersial mungkin mungkin dirasa cukup berat, dilihat dan persyaratan pembayaran bunga maupun jangka waktu pengembaliannya. Khusus bagi negara sedang berkembang tersedia kemungkinan untuk memperoleh “kredit lunak”, yaitu pinjaman dengan bunga di bawah bunga yang berlaku di pasar uang dan dengan jangka waktu yang lebih longgar.*)
Pemberi kredit ini adalah pemerintah negara-negara maju yang memang mempunyai program untukmembantu pembangunan negara negara berkembang, yaitu negara-negara “donor”, dan lembaga lembaga keuangan internasional yang bertujuan membantu negara negara berkembang (seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, Dana Moneter Internasional (IMF), dan sebagainya).
Sebagai contoh, APBN suatu negara bisa berbentuk seperti berikut: APBN, Negara X, 1981/1982 (dalam Rp milyar), Dari segi pembukuannya, APBN selalu seimbang: pengeluaran total adalah 2.300 dan penerimaan total juga 2.300. Perubahan kebijaksanaan fiskal ditunjukkan oleh adanya perubahan jumlah untuk masing-masing pos. Meskipun jumlah total (pengeluaran dan penerimaan) sama, kita bisa mempunyai kebijaksanaan fiskal yang berbeda apabila struktur angka-angka untuk pos-pos APBN berbeda. Dan memang, kita tidak bisa melihat pengaruh dan suatu APBN hanya dengan melihat nilai totalnya saja. (sebab nilai ini menurut prinsip akuntansinya harus selalu seimbang). Kita bisa mengatakan bahwa APBN defisit, surplus atau seimbang dalam arti ekonomis hanya apabila kita meneliti struktur angka-angkanya.
Ada beberapa pengertian yang berbeda mengenai apa yang di maksud suatu APBN defisit, surplus atau seimbang. Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi makro) yang berbeda satu sama lain. Kita harus memilih pengertian yang sesuai dengan tujuan analisa kita atau dengan problema yang kita soroti. Contoh di atas (dengan kriteria manapun) menunjukkan situasi APBN defisit. Pengertian yang “paling ketat” mengatakan bahwa defisit APBN terjadi apabila seluruh pengeluaran pemerintah tidak bisa dibiayai oleh sumber keuangan negara yang paling utama, yaitu pajak. Dalam contoh di atas, pengeluaran total adalah 2.300 sedang penerimaan pajak hanya 1.200, jadi terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 1.100.
Pengertian defisit yang kedua dan yang “kurang ketat” mengatakan bahwa APBN defisit apabila penerimaan pajak plus pinjaman pemerintah dan masyarakat dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dalam contoh di atas, pajak plus pinjaman mi berjumlah 1.400, sehingga terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 900.
Mengapa pinjaman dan masyarakat dalam negeni dianggap sebagai sumber dana yang “wajar”? Pertama, karena ini adalah pinjaman pemerintah terhadap warganya sendiri, sehingga ada perasaan bahwa pinjaman ini “wajar”. Alasan kedua, yang secara ekonomis lebih penting, adalah bahwa pinjaman semacam ini tidak menambah jumlah uang beredar di dalam negeri, karena dana yang diperoleh pemerintah adalah dana yang sebelumnya ada di ta ngan masyarakat (yaitu, hanya terjadi pengalihan hak penggunaan dana yang tersedia). Ciri ini mempunyai implikasi penting bagi pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian (seperti yang akan kita bahas nanti).
Pengertian yang paling “lunak” mengenai defisit APBN menga takan bahwa defisit APBN hanya terjadi apabila pajak + pinjaman dan masyarakat dalam negeri + pinjaman dan luar negeri tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan lain perkataan, defisit APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dan bank sentral atau, secara populer, harus men cetak uang baru untuk membiayai pengeluarannya. Dalam contoh di atas, defisit menurut pengertian ini adalah 300.
Berbagai pengertian mengenai APBN surplus dan seimbang juga bisa digolongkan sejalan dengan pengertian mengenai defisit di atas. Kesimpulan umum mengenai uraian kita sampai saat mi adah bahwa kita harus berhati-hati dan mempunyai konsepsi jelas mengu nai pengertian mana yang kita maksud apabila kita mengatakan te jadi defisit atau surplus APBN. Selain itu jelas pula dan uraian di atas bahwa cara membiayai pengeluaran pemerintah menentukan sekali akibat APBN terhadap perekonomian. Bermacam-macam pengeluaran sangat menentukan pula pengaruh APBN terhadap perekonomian Hanya melihat angka “total”nya saja, kita tidak bisa menilai konsekuensi APBN bagi perekonomian.

Bayu Pramutoko,SE,MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar